Sunday, October 15, 2006

Berserah Diri

Sesak di dada tak terkira
Ketika angan melayang ke tempat tak terduga
Sakitnya sukma mendera
Ketika takut menghempas tubuh tak berdaya
Diri tersendat merayap perlahan
Ketika sekelebat kesejukan menerpa
Wajah terpana menatap penuh asa
Ketika seberkas cahaya menyapa
Semua sesak, sakit itu mendadak sirna
Ketika tersadar Engkau di sana
Membelai, membujuk dengan senyum penuh cinta
Dalam kuasa-Mu yang tak terhingga
Jiwa ini semakin lega
Di saat kuberserah diri pada Zat yang Maha Esa

Bandung, 14 Oktober 2006
Ya Rabbi, kuserahkan segalanya pada-Mu…
Karena hanya Engkaulah yang maha tahu apa yang terbaik bagi alam semesta…


Pastinya sudah lama dan seringkali kita mendengar kalimat: “berserah dirilah pada Allah, manusia hanya bisa berusaha namun Allahlah yang menentukan hasilnya”. Pastinya juga banyak yang setuju dengan kalimat tersebut, termasuk gw. Siapa sih yang ga tau kekuasaan Allah yang tak terbatas. (Cuma tau lho, belum tentu percaya, ya kan…?) Sejak kita belajar agama (Islam, yang gw tau), itu termasuk yang pertama kali dikenalkan: kekuasaan Allah yang tak terbatas. Jika Allah menghendaki sesuatu tinggal berkata: “Kun fayakun” maka terjadilah apa yang dikehendaki-Nya.

Tapi ternyata buat gw, tidak mudah untuk melakukannya. Secara ga sadar ternyata belum mampu mencapai keberserahan diri yang sesungguhnya. Memang dalam do’a sih sering terucap kata itu, tapi benar tidaknya kita sudah melakukan yang sesungguhnya akan terlihat dari bagaimana kita memandang dan menjalani hidup ini.

Gw memang bukan ahli agama (Islam), jadi apa yang gw pikirkan dan rasakan mungkin benar-benar berada di tingkat paling bawah dari ilmu agama tersebut. Tapi ga ada salahnya kan gw share, siapa tahu ada yang mampir berkenan buat share balik ke gw. Menurut gw, orang yang sudah mampu berserah diri kepada Allah adalah jika orang tersebut paling tidak sudah tidak lagi merasakan berbagai ketakutan dalam hidupnya (takut kehilangan hartanya, orang yang disayanginya, jabatannya, dsb; takut menghadapi masa depan; takut kesepian; dsb) dan iri hati (iri terhadap rizki orang lain, jabatan orang lain, keberhasilan orang lain, dsb.). Kalau kita masih sering berpikir: “apa jadinya kita kalau orang yang kita sayangi meninggalkan kita?” atau “bagaimana jadinya kita kalau besok-besok sudah tidak menjadi kepala bagian lagi?” atau “bagaimana anak-anak kalau kita tidak bisa mendampingi mereka lagi?” atau “kenapa dia bisa memenuhi segala keinginannya secara materi sementara kita tidak” atau “betapa enaknya dia karena diberi kemampuan untuk melakukan banyak hal sementara kita tidak” dst…. Maka belumlah kita menjadi salah satu orang yang berserah diri kepada Allah.

Padahal perlu diingat, yang namanya hidup, mati, dan rizki orang ditentukan oleh Allah. Ee…bukan berarti kita jadi ga berusaha ya, yang namanya usaha itu mah wajib sifatnya. Paling ga dengan berusaha, Allah tahu kita bersungguh-sungguh untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Hanya jangan terbebani oleh hasilnya nanti, berhasil atau tidak Allah yang berkuasa untuk menentukannya. Jadi, bismillah aja deh setiap kali kita berusaha ya…. InsyaAllah, kalau memang itu sudah bagian kita, ga akan lari kemana kok.

Penyebab kita masih belum bisa berserah diri itu biasanya adalah ketidakpercayaan kita akan keberadaan Allah yang memiki kuasa penuh tersebut. Kadang-kadang kita juga tidak menyadarinya. Di mulut kita mungkin berkata: “percaya…percaya kok..”. Tapi kalau ternyata masih juga sering berpikiran seperti di atas….wah…ga janji ‘percaya’ itu ada di hati kita yang paling dalam.

Yang tidak kita sadari bahwa keadaan tidak berserah diri (kepada Allah tentunya), ternyata tidak hanya merusak mental kita saja, tetapi juga fisik kita. Orang bilang, banyak orang yang sakit dan sulit untuk sembuh karena hal tersebut. Kalaupun sembuh, penyakit tersebut tidak hilang seratus persen, kadang-kadang kambuh lagi atau menjadi penyakit yang lain. Untuk orang yang sehat, keadaan berserah diri membuat orang tersebut jadi jarang dihinggapi penyakit. Ya kalau sekali-sekali merasakan penyakit yang ringan seperti batuk pilek, pusing, sakit perut; itu mah biasa. Kadang-kadang tubuh juga perlu mengingatkan diri kita agar tidak memforsir tubuh terus-terusan, artinya pada saat itu tubuh perlu beristirahat untuk sementara waktu.

Siapa sih yang tidak ingin sehat selalu? (pasti ga ada yang ngacung) Nah, karena itu perlu deh kayaknya dicoba untuk ga berpikiran seperti di atas. Jangan salah, gw juga masih suka berpikiran seperti itu, walaupun sudah mulai menurun intensitasnya. Jadi tulisan ini sebenarnya dibuat ga bermaksud buat ‘ngajarin’ siapapun yang sempet mampir. Melainkan lebih pada mengingatkan diri sendiri (kalo lagi lupa kan bisa baca2 lagi, gitchu….). Tapi mudah-mudahan juga bisa bermanfaat bagi siapa saja yang berkenan membacanya.

2 comments:

Zilko said...

Hallo, met wiken yaa... :)

Yup, setuju, kalo kita memahami kata "berserah diri" itu secara harafiahnya saja, jelas itu salah banget. Membuat orang berpikir: "Nggak usah kerja ah, toh Tuhan sudah menentukan apa yang akan terjadi untuk kita". Akhirnya jelek bener deh hasilnya... :)

Menurutku, berserah diri itu, lebih ke menerima kenyataan. Kalau sudah nilainya jelek, ya udah, mau gimana lagi kan?? Udah jadi nilainya, introspeksi kenapa koq jelek, mungkin ga belajar, ga ngerti bahan, dll... :) Lain kali, jangan diulangi... :D

--- OOT ---

btw, kan aku nulisnya: "Having a Happy Life", bukan "Hopefully I'll have a happy life in the future", jadi maksudnya ya skarang ato besok aku harap sama2 happy... :)

Trus menurutku, klo emang kita lagi sedih, ya sedih aja, ga usah dipaksain keliatan gembira. I don't wanna pretend to myself to be happy when I'm actually sad. Misal: klo kerabat kita meninggal, sedih ya sedih, wajar koq. Masa mau happy?? :) Ga mungkin kan?? Klo gitu malah ga bagus dong.. :)

Leny Puspadewi said...

Setuju jg deh. Yg pasti, gw lg blajar menghilangkan rasa sedih yg masih suka dt tiba2 skr2 ini. Mgkn krn lg blm byk kerjaan jd msh punya wkt buat 'mikir yg ga2'. Tp mustinya kan ga boleh gtu, hrs bs mjlnkan hidup ini dg 'be happy'.