Tuesday, November 21, 2006

(Masih) Melajang

Sebelum ini, gw dan keluarga pernah berdomisili di Jakarta…eh... maksudnya rumah sih di Bekasi tapi kalo pergaulan banyak di Jakarta. Pada saat itu gw sedang ‘nyekolah’ lagi di UI. Dan kebetulan suami sejak kami menikah sudah bekerja di Jakarta, jadi kloplah pada saat itu untuk berdomisili di Jakarta…eh…Bekasi saja.

Selama ‘perantauan’ di Jakarta itu, gw berteman karib dengan beberapa orang (perempuan) yang sampai sekarang masih melajang. Sekarang ini usia mereka berada pada range 33 sampai 41 tahun.

Kadang-kadang kita suka berpikiran negatif tentang mereka yang melajang sampai usia sedemikian matang (hayoo…ngaku, bener kan?). Mereka terlalu sibuk dengan kariernya lah, terlalu memilih bertemanlah, terlalu egoislah, terlalu menikmati kesendiriannya lah, dsb. Kemudian kita akan mempertanyakan: apa sih sebenarnya yang mereka cari di usia seperti itu kok masih betah melajang?

Dari hasil diskusi (baca: curhat) mereka dengan gw, ternyata mereka tidak seperti yang kita pikirkan. Mereka juga sama seperti kita, perempuan kebanyakan, yang mempunyai keinginan dan harapan untuk hidup ‘normal’ (kalau berkeluarga dianggap sebagai hidup ‘normal’) seperti kita. Mereka juga tidak pernah meminta untuk menjalani kehidupannya seperti itu, melajang hingga usia ‘terlalu matang’.

Salah satu dari karib gw itu memiliki cerita yang cukup tragis mengenai kelajangannya.
Dia sampai sekarang masih melajang karena merasa belum ada seseorang yang bisa menggantikan eks teman dekatnya yang sudah menikah dengan orang lain. Mereka sempat dekat lama, 10 tahun (sejak mereka SMP, katanya). Mereka bukan tidak mau menikah. Bahkan si laki-laki sempat ‘melamar’ (belum secara formal dengan keluarga melainkan ‘lamaran’ si laki-laki ke orangtua karib gw), sayangnya tidak diperkenankan oleh orangtua karib gw. Padahal usia mereka pada waktu itu sudah cukup untuk menikah. Kalau tidak salah 26 tahun. Dan si laki-laki sudah memiliki pekerjaan tetap dengan penghasilan yang lumayan. Alasannya masih ada dua orang kakak perempuan karib gw yang belum menikah. Setelah itu, hubungan mereka menjadi renggang dan semakin renggang. Puncaknya adalah ketika sehelai undangan pernikahan si laki-laki (dengan orang lain tentunya) diterima oleh karib gw (kebayang sakitnya ya…hiks).

Jadi… kalau bertemu atau tahu seseorang yang masih melajang, janganlah negative thinking. Dan ‘persiapan’ buat ibu-ibu yang punya beberapa orang anak (terutama anak perempuan), jangan sampai perbuatan kita (misalnya tidak mengijinkan menikah, padahal usianya sudah cukup, dan secara materi juga sudah mampu, seperti cerita di atas) menyebabkan anak kita mengalami hal yang tidak ingin dialaminya (kalau cerita di atas: melajang sampai usia yang ‘terlalu matang’).

2 comments:

arman said...

Ya...serba salah juga sih. Maksud orangtua sih, alih-alih buat menjaga perasaan sang kakak, akhirnya sang anak/adik juga yang jadi 'korban'. Be positive aja kali,ya. Mungkin 'kereta' yang akan datang -kalo bener datang- adalah lebih baik. Atau kalo pun nggak ada 'kereta' yang datang juga, mungkin itulah yang terbaik. Yang penting hidup ini diisi dengan amal perbuatan yang baik.
That's what we're living for, right?

Leny Puspadewi said...

Mereka jg akhirnya berpikiran spt itu kok. Hanya saja, sungguh disayangkan ternyata sampai sekarang baik dia maupun sang kakak masih melajang. Kalo saja s adik diperbolehkan menikah waktu itu, kan yg melajangnya berkurang...:)