Tuesday, November 14, 2006

Pengennya sih…& Kok bisa ya…?

Kucari makna semua yang terjadi
Yang tampak hanya tanya
Berlari jua tak membawa arti
Yang ada hanya lelah

Beribu jarak telah kutempuh
Namun semua membisu
Beribu waktu telah berlalu
Tak pernah kubertemu

Di saat diri di ambang putus asa
Kudengar bisik itu
Ternyata Dia tak jauh dariku
Menunggu setia di kalbu

Ini lirik yang gw tulis beberapa waktu lalu (kayaknya pas lagi puasa deh, lupa). Waktu itu sih pengennya bisa ciptain lagu dengan lirik ini. Tapi baru setengah lagunya dibuat, semangatnya udah lari entah kemana. Kemarin gw nemuin corat-coretnya di kertas (dibalik dua lembar kertas bekas ujian mahasiswa gw) tergeletak tak berdaya di bawah kursi piano. Begitulah nasib lirik dan lagu (yang belum jadi itu) di tangan seorang yang angin-anginan kayak gw…he…he…he…

* * *

Hari sabtu kemarin, mertua gw dateng dari Solo dan menginap semalam di rumah. Mereka dateng dalam rangka menghadiri pernikahan salah seorang adik sepupu suami di Cimahi. Ga maksud ngegosip, gw cuma merasa heran aja. Kok bisa ya?

Maksudnya bukan kok bisa mertua gw dateng dan nginep di rumah gw, itu mah wajar atuh namanya juga rumah anaknya. Atau kok bisa mereka datang untuk menghadiri pernikahan salah seorang adik sepupu suami, ya wajar juga atuh kan sama saudara, cukup dekat pula hubungan persaudaraannya. Tp maksudnya pernikahan adik sepupu suami gw. Pernikahan itu tanpa pacaran dulu bahkan hanya melakukan kontak tiga kali. Diawali dengan perkenalan ‘semu’ dimana seorang teman adik sepupu suami (perempuan) ‘memperkenalkan’ seseorang (laki-laki, tentunya) melalui foto dan keterangan siapa dan bagaimana si laki-laki tersebut. Kontak kedua adalah perkenalan sesungguhnya dari kedua insan yang ‘dijodohkan’ tersebut. Dan kontak ketiga adalah dilamarnya si perempuan oleh si laki-laki tersebut. Bayangkan menikah dengan seseorang yang baru kita kenal. Mengikatkan diri, kalau bisa kan seumur hidup, dengan seseorang yang kita ga tahu sebenarnya seperti apa dia itu. Ck..ck..ck.. kalo gw ih.. ngeri. Memang sih, menurut agama Islam, begitulah yang sebaiknya dilakukan jika ingin memiliki pasangan hidup (menikah), tanpa pacaran karena dikhawatirkan akan terjadi ‘hal-hal yang tidak diinginkan’ (atau malah yang diinginkan…he..he…). Jadinya kita tidak menambah dosa dengan menghilangkan masa pacaran (mereka bilang, pacarannya dilakukan pada saat sudah menikah, lebih asyik katanya).

Tapi entah ya, gw ga terlalu yakin hal seperti itu bisa berhasil sepenuhnya. Walaupun sudah ada bukti keberhasilan pernikahan seperti itu. Ga jauh-jauh, tiga orang kakak sepupu gw menikah dengan cara itu dan sampai sekarang baik-baik saja rumah tangga mereka. Di balik itu, gw pernah denger cerita, ada yang menikah seperti itu ternyata laki-lakinya bukan orang baik-baik dan tidak bertanggungjawab, sehingga si istri terbengkalai. Mungkin kasus yang terakhir itu jarang terjadi. Tapi tetap saja menghadirkan pertanyaan ‘kok bisa ya?’ dibenak gw. Gw yang menikah setelah 5,5 tahun pacaran aja masih terkaget-kaget ketika setelah menikah menemukan sifat-sifat suami yang tidak pernah terlihat pada masa pacaran. Pertengkaran, jelas ada, tapi masih dalam batas kewajaranlah, kita masih selalu bisa mengatasinya. Toh, sebagian besar sifat dan kebiasaan suami sudah dikenal. Dan ada hikmahnya dari pertengkaran2 itu kok. Setiap abis bertengkar, kita jadi semakin mesra…heuheuy…suit suiw…

Stop ah, kok melenceng. Balik lagi ya… Jadi walaupun sudah ada bukti keberhasilan tersebut, gw tetap aja kagum sama mereka yang bisa melakukan pernikahan seperti itu. Tanpa mengenal dahulu, sudah langsung oke saja menjalani hari-hari bersama dalam kehidupan rumah tangga. Hebat deh… hal yang kayaknya ga bisa gw lakukan. Membayangkan kehadiran ‘orang asing’ tidur di sebelah gw, makan bareng di meja makan, bercakap-cakap sambil nonton TV atau baca koran…Hi..hi…ga kebayang deh… Cuma ya itu, kok bisa ya… orang lain seperti itu…

* * *

Masih cerita di hari sabtu yang sama. Sewaktu mertua sedang berkunjung ke rumah kakak ipar (yang tinggalnya di Cimahi), gw dan suami menyempatkan jalan ke salah satu mall baru (bahkan belum selesai pembangunan mall tersebut, jadi masih awut-awutan di sana sini) di Sukajadi. Paris Van Java, nama mall tersebut. Ceritanya mumpung bisa berdua-duaan, kedua ‘buntut’ yang biasanya ‘ngikutin’ kita kebetulan sedang punya ‘acara’ masing-masing. Yang besar, Kaka Sasha, sedang sekolah. Sementara yang kecil, Ade Ivan, sedang sibuk ‘balapan mobil’ di PSnya di rumah (dia sedang sakit, Gondongeun, kalo Bahasa Sundanya. Bahasa Indonesianya apa ya…?).

Kebetulan hari itu suami sedang berulang tahun. Jadi pengennya sih kita berdua menyempatkan ‘romatic lunch’ lah berdua aja. Pilihan jatuh pada restoran yang baru buka juga, Tawan. Dipilih restoran itu karena dua alasan. Pertama, merupakan salah satu restoran favorit kita (terutama gw, sering nongkrong dengan temen-temen) di Jakarta. Kedua, menunya sangat ‘gw familiar’ lah (saat ini gw belum bisa makan yang pedes, asem, dan terlalu manis gula putih) karena ada buburnya. Menu bubur juga yang pada saat itu kita pilih. Sayangnya, restoran itu belum siap sepenuhnya buat melayani dengan dengan ‘sempurna’ para calon pelanggannya. Menu pilihan kita (roast duck porridge) belum bisa dipesan karena belum tersedianya daging bebek. Pelayannya juga masih kurang gesit, karena kita harus menunggu agak lama untuk pesan dan pada saat gw meminta kecap manis. Memang saat itu jam makan siang yang notabene sibuk buat restoran. Dan suasana yang cukup ribut di dalam restoran membuat ‘romantic lunch’ jadi sulit terealisir. Mmmhh…ya sudah kita cari tempat lain deh.

Setelah melongok-longok beberapa counter dan membeli beberapa keperluan rumah tangga, akhirnya kita memutuskan untuk mengistirahatkan kaki kita yang mulai pegal di sebuah tempat yang dikenal sebagai tempat nongkrong anak muda Bandung, BMC. Berharap kekecewaan di Tawan bisa terobati, kita masuk ke tempat tersebut. Interiornya lumayan cozy, nyaman buat berlama-lama nongkrong di sana. Pelayannya juga dengan cepat merespon kedatangan kita sehingga ga perlu menunggu terlalu lama untuk pesan. Sayangnya (yah…kecewa lagi deh…) salah satu pesanan kita ga nongol-nongol sampai akhirnya kita sebel dan meninggalkan tempat itu. Kalau boleh usul, coba deh lihat cara Pizza Hut melayani pelanggannya (menurut gw restoran menengah yang termasuk bagus pelayanannya). Setiap selesai mengantarkan pesanan, pasti pelayannya akan bertanya,” Pesanannya sudah keluar semua?” Hal ini bisa menghindarkan peristiwa di BMC tadi.

Begitulah…pengennya sih bisa ‘romantic lunch’, ternyata… Ah sudahlah ga masalah. Bisa di coba lagi, mungkin… hari ini! Ya, hari ini giliran gw yang berulang tahun (Selamat ulang tahun kami ucapkan…he..he..). Yap, moga-moga deh bisa terealisir…

* * *

Kemarin ketika di perjalanan menuju kampus Dago, di depan mobil yg gw tumpangi melaju dengan anggun sebuah mobil bagus (harganya bisa mencapai 3-4 kali lipat mobil yang gw tumpangi) meluncur dengan mulus. Ketika gw sedang memuji bagusnya mobil tersebut, tiba-tiba ada sebuah benda (sampah, entah bungkus permen atau biskuit) melayang dari mobil tersebut. Gw terperangah. Beberapa detik kemudian, melayang lagi benda (yang mungkin sama) dari mobil tersebut. Gw semakin terperangah. Dan itu masih berulang beberapa kali sampai akhirnya, mobil bagus tersebut berbelok ke salah satu factory outlet yang berada di sebelah kiri jalan yang sedang gw lalui. Kok bisa ya…penumpang (yang kemungkinan besar adalah pemilik dari mobil tersebut, atau anaknya, atau saudaranya) membuang sampah sembarangan. Apa dia/mereka kira jalanan di Bandung ini adalah sebuah tempat sampah yang besar? (Atau barangkali mereka terinspirasi oleh penumpukan sampah di Bandung yang akhir-akhir ini mulai terlihat lagi? Ah, itu sih lain soal…) Tapi yang pasti, gw jadi berpikir:”punya mobil mahal dan bagus kok ga mampu sekolah, abis kelakuan kayak orang yang ga berpendidikan.” Padahal gw aja, selalu bela-belain ‘mengumpulkan’ sampah di mobil (ga jarang terasa lengket dan agak bau) yang baru akan ‘diboyong’ keluar kalau tempat sampah sudah menanti di dekat mobil. Dan itu gw tularin ke suami, anak-anak, pembantu, sopir, nyokap, bokap, adik-adik, temen, dsb. Tadinya gw pikir, ‘orang-orang bermobil’, apalagi dengan mobil yang bagus dan mahal, sudah punya kesadaran minimal seperti gw lah. Tapi ternyata… Ih…kok bisa ya…?

* * *

2 comments:

ambudaff said...

Orang-orang seperti itu membeli mobil mewah dengan menghabiskan seluruh persediaan uangnya. Jadi ga ada uang lagi untuk membeli pendidikan etika ^_^

Leny Puspadewi said...

Ha..ha..ha.. Iya kali ya. Ksian banget deh.. Belain 'gaya' tp ga 'nyekolah'.