Tuesday, November 28, 2006

Arisan keluarga

Hari minggu kemarin (26 Nov), gw beserta keluarga besar (dari nyokap gw) mengadakan pertemuan rutin bulanan. Karena dalam acara tersebut salah satunya adalah arisan, maka kita biasanya memanggil pertemuan keluarga tersebut sebagai arisan keluarga. Padahal periode kali ini (setiap tahun selalu berganti periode dengan kepengurusan yang berbeda, digilir dari setiap keluarga, biar adil kebagian sibuk nagih-nagih uang arisan dan uang-uang lainnya), acara arisannya ga ada, lagi istirahat dulu, biar ga bosen. Jadi yang ada ya ngumpulin uang kurban, iuran, atau lunasin utang-utang. Trus selain makan-makan, biasanya ada semacam ‘nasehat’ dari para sesepuh atau dari ustad yang diundang.

Arisan keluarga yang ini, agak lain dari biasanya. Biasanya kita mengadakan di Bandung di rumah salah seorang keluarga kita, karena sebagian besar keluarga kita berdomisili di Bandung. Tapi kemarin kita mengadakannya di Jakarta, di rumah adik bungsu gw. Asyiknya serasa berlibur bareng keluarga (nyokap-bokap, gw sekeluarga, adik gw yang di bandung beserta suami dan dua anaknya, dan dua anak kakak gw). Kita sempet nginep semalem di hotel Santika Jakarta (tadinya mau nginep di rumah adik gw, tapi ga muat, kamarnya dikit sih). Ga asyiknya…puannasssnya itu lho…. Yang heboh, keluarga dari Bandung sampai nyarter bis segala biar bisa bareng-bareng perginya. Tapi ada juga yang pake mobil pribadi (kyk gw dan keluarga).

Syukurlah, walaupun emang kemarin itu Jakarta terasa panas banget (apalagi buat kita yang dari Bandung, mungkin karena banyak orang juga yang datang, sementara ruangan yang ada terbatas, padahal udah pasang tenda segala di halaman yang cukup luas itu…) tapi acaranya sih sukses. Banyaknya keluarga yang datang, makanan yang (menurut gw) oke, dan acara berjalan lancar; membuat kita semua menghela napas lega. Dan yang terpenting adalah rasa antara percaya dan enggak, hey…acara ini adik bungsu gw lho yang bikin. Ternyata, si bungsu yang dulu itu suka nyebelin, gampang ngambek, keras kepala, eh… sekarang udah mampu menjadi tuan rumah dari acara yang cukup besar (kalau dihitung-hitung yang datang lebih dari 80 orang lho…). Selamat ya Dik!

Tuesday, November 21, 2006

(Masih) Melajang

Sebelum ini, gw dan keluarga pernah berdomisili di Jakarta…eh... maksudnya rumah sih di Bekasi tapi kalo pergaulan banyak di Jakarta. Pada saat itu gw sedang ‘nyekolah’ lagi di UI. Dan kebetulan suami sejak kami menikah sudah bekerja di Jakarta, jadi kloplah pada saat itu untuk berdomisili di Jakarta…eh…Bekasi saja.

Selama ‘perantauan’ di Jakarta itu, gw berteman karib dengan beberapa orang (perempuan) yang sampai sekarang masih melajang. Sekarang ini usia mereka berada pada range 33 sampai 41 tahun.

Kadang-kadang kita suka berpikiran negatif tentang mereka yang melajang sampai usia sedemikian matang (hayoo…ngaku, bener kan?). Mereka terlalu sibuk dengan kariernya lah, terlalu memilih bertemanlah, terlalu egoislah, terlalu menikmati kesendiriannya lah, dsb. Kemudian kita akan mempertanyakan: apa sih sebenarnya yang mereka cari di usia seperti itu kok masih betah melajang?

Dari hasil diskusi (baca: curhat) mereka dengan gw, ternyata mereka tidak seperti yang kita pikirkan. Mereka juga sama seperti kita, perempuan kebanyakan, yang mempunyai keinginan dan harapan untuk hidup ‘normal’ (kalau berkeluarga dianggap sebagai hidup ‘normal’) seperti kita. Mereka juga tidak pernah meminta untuk menjalani kehidupannya seperti itu, melajang hingga usia ‘terlalu matang’.

Salah satu dari karib gw itu memiliki cerita yang cukup tragis mengenai kelajangannya.
Dia sampai sekarang masih melajang karena merasa belum ada seseorang yang bisa menggantikan eks teman dekatnya yang sudah menikah dengan orang lain. Mereka sempat dekat lama, 10 tahun (sejak mereka SMP, katanya). Mereka bukan tidak mau menikah. Bahkan si laki-laki sempat ‘melamar’ (belum secara formal dengan keluarga melainkan ‘lamaran’ si laki-laki ke orangtua karib gw), sayangnya tidak diperkenankan oleh orangtua karib gw. Padahal usia mereka pada waktu itu sudah cukup untuk menikah. Kalau tidak salah 26 tahun. Dan si laki-laki sudah memiliki pekerjaan tetap dengan penghasilan yang lumayan. Alasannya masih ada dua orang kakak perempuan karib gw yang belum menikah. Setelah itu, hubungan mereka menjadi renggang dan semakin renggang. Puncaknya adalah ketika sehelai undangan pernikahan si laki-laki (dengan orang lain tentunya) diterima oleh karib gw (kebayang sakitnya ya…hiks).

Jadi… kalau bertemu atau tahu seseorang yang masih melajang, janganlah negative thinking. Dan ‘persiapan’ buat ibu-ibu yang punya beberapa orang anak (terutama anak perempuan), jangan sampai perbuatan kita (misalnya tidak mengijinkan menikah, padahal usianya sudah cukup, dan secara materi juga sudah mampu, seperti cerita di atas) menyebabkan anak kita mengalami hal yang tidak ingin dialaminya (kalau cerita di atas: melajang sampai usia yang ‘terlalu matang’).

Thursday, November 16, 2006

Sex Education

Beberapa hari yang lalu, anak gw yang gede, Kaka Sasha, tiba-tiba ngambek hanya karena ‘kalah’ rebutan Sang Ayah dengan adiknya. Sang adik yang kebetulan sedang sakit ‘gondongeun’, memang agak ‘dimenangkan’ oleh Sang Ayah. Ngambeknya diekspresikan dengan mengurung diri di kamar tamu bawah. Setiap orang yang datang (Sang Ayah, atau gw) mengetuk dan membuka pintu kamar, diusir dengan teriakan: “Keluar! Jangan ganggu Sasha!”

Setelah beberapa lama didiamkan baik oleh gw maupun suami, akhirnya gw berusaha masuk kembali ke kamar itu untuk membujuknya mandi sore. Saat itu gw berhasil masuk dan mendekatinya (dia sedang telungkup di kasur membaca salah satu novel yang baru dibelinya), karena sebelum dia berteriak, gw menyapa dengan penuh kelembutan (deuuh…lembut ni…he..he.. kan gw seorang ibu juga…): “Kenapa, Sayang. Kok dari tadi marah-marah melulu?” Kemudian gw beraksi membelai-belai rambut hitamnya yang pajang dan lurus (karena rebonding, ikutan Nyokapnya…he…he…).

Awalnya dia diam saja, hanya mulutnya semakin maju, cemberut. Gw mengeluarkan kembali ‘jurus lembut’ tadi dengan beberapa kalimat membujuk lainnya (ga perlu ditulis di sini deh… takut bikin eneg…). Lama-lama dia melepaskan pandangannya dari novelnya (yang entah dibaca atau hanya sebagai eksyen aja agar keliatan seperti yang cuek) dan memandang gw dengan mata…..wah…berkaca-kaca…lho kok jadi nangis begini… Trus gw tanya, apa dia sebel sama Ayah, Bunda, atau adiknya. Dia menggeleng. Apa sebel sama temennya atau gurunya. Masih menggeleng. Jadi apa dong…bingung nih Sang Bunda…

Masih sambil membelai-belai rambutnya, gw terus membujuknya supaya bercerita apa yang membuat matanya berkaca-kaca. Akhirnya dengan suara bergetar nyaris menangis, dan air mata yang mulai berjatuhan, Kaka Sasha berkata pelan,” Sasha takut kalau nanti nikah.” Hah?! Gw langsung terperangah, nikah? Apa ga salah denger? Kok, tiba-tiba ngomongin nikah. Umurnya kan baru 10 tahun, dan dia bilang apa tadi? Takut? Kenapa mesti takut? Berentet pertanyaan langsung menyerbu pikiran gw. Tapi yang keluar dari mulut gw (ya…supaya keliatan ja’im juga lah…he..he..) cuma:”Lho, kok takut nikah. Memangnya kenapa?”

Jawabannya semakin membuat gw terperangah…(aduh, tulis di sini ga ya…tulis…ga… tulis…ga…emmh…tulis deh…):”Abis nanti ‘punya’nya yang laki-laki masuk ke ‘punya’nya yang perempuan. Kan sakit…” (sorry, kalau agak vulgar, tapi gw pengen share, siapa tau ada yang sedang atau akan mengalami nanti)

Walah…walah…omongan apa lagi ini. Tau darimana dia tentang….sex? Gile bener… Waduh gw bingung banget mau komentar apa. Tapi sebagai seorang ibu, gw kan harus bisa menenangkan dia, jangan sampai stress dengan hal-hal yang seharusnya tidak perlu dia pikirin. Dan harusnya hal itu ga bikin stress kok, kan alami, normal, semua yang menikah akan mengalaminya.

Akhirnya, setelah berpikir sebentar, gw tanya kata siapa itu. Dia bilang kata gurunya di Bimbel (bimbingan belajar, anak sekarang memang lain banget dengan kita dulu, baru SD aja udah bimbel…). Gw tanya lagi, kok ngasih tau kayak gitu, emang dalam rangka apa? Dia jawab, ada di pelajaran IPA, tapi di sekolah baru akan dikasih minggu depan.

Wah…ternyata sudah ada sex education di SD toh. Gw akuin, bagus. Tapi harusnya orangtua murid diberi ‘pengarahan’ dulu, supaya siap kalau terjadi hal-hal seperti di atas. Materi apa saja yang disampaikan, seperti apa penyampaiannya, bagaimana cara menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti di atas; itu semua perlu dibicarakan dengan orangtua murid. Dan yang terpenting, apakah semua itu membuat si anak waspada untuk bisa ‘menjaga diri’nya atau tidak, dengan semakin dini seseorang mendapatkan sex education. Jadi buat orangtua yang sebentar lagi anaknya berada di kelas 6 SD, siap-siap aja kalau tiba-tiba mengalami hal yang sama seperti di atas.

Tapi, alhamdulillah, masalah tersebut sampai sejauh ini sih bisa diatasi. Gw bilang aja, kalau itu tuh alami, wajar, dan ga perlu terlalu dipikirin. Itu kan dilakukan salah satunya biar bisa punya anak. Lagipula kan masih lama dia menikah. Jangan takut, liat aja orang di sekeliling dia yang sudah menikah (gw contohin gw sendiri dengan suami, kakek-neneknya, om-tantenya, dll), kan ga kelihatan takut bahkan happy kok. Dan untungnya dia mau mengerti, walaupun kadang-kadang masih suka nyeletuk masalah itu, kalau kita sedang berbicara yang nyrempet hal itu. Misalnya godain dia, mau ngasih ade lagi, dia kemudian komentar: “Ih.. ‘itu’nya Ayah harus masuk ke ‘itu’nya Bunda dong…” (sorry, agak vulgar lagi) Dasar…yang mulai ABG…

Tuesday, November 14, 2006

Pengennya sih…& Kok bisa ya…?

Kucari makna semua yang terjadi
Yang tampak hanya tanya
Berlari jua tak membawa arti
Yang ada hanya lelah

Beribu jarak telah kutempuh
Namun semua membisu
Beribu waktu telah berlalu
Tak pernah kubertemu

Di saat diri di ambang putus asa
Kudengar bisik itu
Ternyata Dia tak jauh dariku
Menunggu setia di kalbu

Ini lirik yang gw tulis beberapa waktu lalu (kayaknya pas lagi puasa deh, lupa). Waktu itu sih pengennya bisa ciptain lagu dengan lirik ini. Tapi baru setengah lagunya dibuat, semangatnya udah lari entah kemana. Kemarin gw nemuin corat-coretnya di kertas (dibalik dua lembar kertas bekas ujian mahasiswa gw) tergeletak tak berdaya di bawah kursi piano. Begitulah nasib lirik dan lagu (yang belum jadi itu) di tangan seorang yang angin-anginan kayak gw…he…he…he…

* * *

Hari sabtu kemarin, mertua gw dateng dari Solo dan menginap semalam di rumah. Mereka dateng dalam rangka menghadiri pernikahan salah seorang adik sepupu suami di Cimahi. Ga maksud ngegosip, gw cuma merasa heran aja. Kok bisa ya?

Maksudnya bukan kok bisa mertua gw dateng dan nginep di rumah gw, itu mah wajar atuh namanya juga rumah anaknya. Atau kok bisa mereka datang untuk menghadiri pernikahan salah seorang adik sepupu suami, ya wajar juga atuh kan sama saudara, cukup dekat pula hubungan persaudaraannya. Tp maksudnya pernikahan adik sepupu suami gw. Pernikahan itu tanpa pacaran dulu bahkan hanya melakukan kontak tiga kali. Diawali dengan perkenalan ‘semu’ dimana seorang teman adik sepupu suami (perempuan) ‘memperkenalkan’ seseorang (laki-laki, tentunya) melalui foto dan keterangan siapa dan bagaimana si laki-laki tersebut. Kontak kedua adalah perkenalan sesungguhnya dari kedua insan yang ‘dijodohkan’ tersebut. Dan kontak ketiga adalah dilamarnya si perempuan oleh si laki-laki tersebut. Bayangkan menikah dengan seseorang yang baru kita kenal. Mengikatkan diri, kalau bisa kan seumur hidup, dengan seseorang yang kita ga tahu sebenarnya seperti apa dia itu. Ck..ck..ck.. kalo gw ih.. ngeri. Memang sih, menurut agama Islam, begitulah yang sebaiknya dilakukan jika ingin memiliki pasangan hidup (menikah), tanpa pacaran karena dikhawatirkan akan terjadi ‘hal-hal yang tidak diinginkan’ (atau malah yang diinginkan…he..he…). Jadinya kita tidak menambah dosa dengan menghilangkan masa pacaran (mereka bilang, pacarannya dilakukan pada saat sudah menikah, lebih asyik katanya).

Tapi entah ya, gw ga terlalu yakin hal seperti itu bisa berhasil sepenuhnya. Walaupun sudah ada bukti keberhasilan pernikahan seperti itu. Ga jauh-jauh, tiga orang kakak sepupu gw menikah dengan cara itu dan sampai sekarang baik-baik saja rumah tangga mereka. Di balik itu, gw pernah denger cerita, ada yang menikah seperti itu ternyata laki-lakinya bukan orang baik-baik dan tidak bertanggungjawab, sehingga si istri terbengkalai. Mungkin kasus yang terakhir itu jarang terjadi. Tapi tetap saja menghadirkan pertanyaan ‘kok bisa ya?’ dibenak gw. Gw yang menikah setelah 5,5 tahun pacaran aja masih terkaget-kaget ketika setelah menikah menemukan sifat-sifat suami yang tidak pernah terlihat pada masa pacaran. Pertengkaran, jelas ada, tapi masih dalam batas kewajaranlah, kita masih selalu bisa mengatasinya. Toh, sebagian besar sifat dan kebiasaan suami sudah dikenal. Dan ada hikmahnya dari pertengkaran2 itu kok. Setiap abis bertengkar, kita jadi semakin mesra…heuheuy…suit suiw…

Stop ah, kok melenceng. Balik lagi ya… Jadi walaupun sudah ada bukti keberhasilan tersebut, gw tetap aja kagum sama mereka yang bisa melakukan pernikahan seperti itu. Tanpa mengenal dahulu, sudah langsung oke saja menjalani hari-hari bersama dalam kehidupan rumah tangga. Hebat deh… hal yang kayaknya ga bisa gw lakukan. Membayangkan kehadiran ‘orang asing’ tidur di sebelah gw, makan bareng di meja makan, bercakap-cakap sambil nonton TV atau baca koran…Hi..hi…ga kebayang deh… Cuma ya itu, kok bisa ya… orang lain seperti itu…

* * *

Masih cerita di hari sabtu yang sama. Sewaktu mertua sedang berkunjung ke rumah kakak ipar (yang tinggalnya di Cimahi), gw dan suami menyempatkan jalan ke salah satu mall baru (bahkan belum selesai pembangunan mall tersebut, jadi masih awut-awutan di sana sini) di Sukajadi. Paris Van Java, nama mall tersebut. Ceritanya mumpung bisa berdua-duaan, kedua ‘buntut’ yang biasanya ‘ngikutin’ kita kebetulan sedang punya ‘acara’ masing-masing. Yang besar, Kaka Sasha, sedang sekolah. Sementara yang kecil, Ade Ivan, sedang sibuk ‘balapan mobil’ di PSnya di rumah (dia sedang sakit, Gondongeun, kalo Bahasa Sundanya. Bahasa Indonesianya apa ya…?).

Kebetulan hari itu suami sedang berulang tahun. Jadi pengennya sih kita berdua menyempatkan ‘romatic lunch’ lah berdua aja. Pilihan jatuh pada restoran yang baru buka juga, Tawan. Dipilih restoran itu karena dua alasan. Pertama, merupakan salah satu restoran favorit kita (terutama gw, sering nongkrong dengan temen-temen) di Jakarta. Kedua, menunya sangat ‘gw familiar’ lah (saat ini gw belum bisa makan yang pedes, asem, dan terlalu manis gula putih) karena ada buburnya. Menu bubur juga yang pada saat itu kita pilih. Sayangnya, restoran itu belum siap sepenuhnya buat melayani dengan dengan ‘sempurna’ para calon pelanggannya. Menu pilihan kita (roast duck porridge) belum bisa dipesan karena belum tersedianya daging bebek. Pelayannya juga masih kurang gesit, karena kita harus menunggu agak lama untuk pesan dan pada saat gw meminta kecap manis. Memang saat itu jam makan siang yang notabene sibuk buat restoran. Dan suasana yang cukup ribut di dalam restoran membuat ‘romantic lunch’ jadi sulit terealisir. Mmmhh…ya sudah kita cari tempat lain deh.

Setelah melongok-longok beberapa counter dan membeli beberapa keperluan rumah tangga, akhirnya kita memutuskan untuk mengistirahatkan kaki kita yang mulai pegal di sebuah tempat yang dikenal sebagai tempat nongkrong anak muda Bandung, BMC. Berharap kekecewaan di Tawan bisa terobati, kita masuk ke tempat tersebut. Interiornya lumayan cozy, nyaman buat berlama-lama nongkrong di sana. Pelayannya juga dengan cepat merespon kedatangan kita sehingga ga perlu menunggu terlalu lama untuk pesan. Sayangnya (yah…kecewa lagi deh…) salah satu pesanan kita ga nongol-nongol sampai akhirnya kita sebel dan meninggalkan tempat itu. Kalau boleh usul, coba deh lihat cara Pizza Hut melayani pelanggannya (menurut gw restoran menengah yang termasuk bagus pelayanannya). Setiap selesai mengantarkan pesanan, pasti pelayannya akan bertanya,” Pesanannya sudah keluar semua?” Hal ini bisa menghindarkan peristiwa di BMC tadi.

Begitulah…pengennya sih bisa ‘romantic lunch’, ternyata… Ah sudahlah ga masalah. Bisa di coba lagi, mungkin… hari ini! Ya, hari ini giliran gw yang berulang tahun (Selamat ulang tahun kami ucapkan…he..he..). Yap, moga-moga deh bisa terealisir…

* * *

Kemarin ketika di perjalanan menuju kampus Dago, di depan mobil yg gw tumpangi melaju dengan anggun sebuah mobil bagus (harganya bisa mencapai 3-4 kali lipat mobil yang gw tumpangi) meluncur dengan mulus. Ketika gw sedang memuji bagusnya mobil tersebut, tiba-tiba ada sebuah benda (sampah, entah bungkus permen atau biskuit) melayang dari mobil tersebut. Gw terperangah. Beberapa detik kemudian, melayang lagi benda (yang mungkin sama) dari mobil tersebut. Gw semakin terperangah. Dan itu masih berulang beberapa kali sampai akhirnya, mobil bagus tersebut berbelok ke salah satu factory outlet yang berada di sebelah kiri jalan yang sedang gw lalui. Kok bisa ya…penumpang (yang kemungkinan besar adalah pemilik dari mobil tersebut, atau anaknya, atau saudaranya) membuang sampah sembarangan. Apa dia/mereka kira jalanan di Bandung ini adalah sebuah tempat sampah yang besar? (Atau barangkali mereka terinspirasi oleh penumpukan sampah di Bandung yang akhir-akhir ini mulai terlihat lagi? Ah, itu sih lain soal…) Tapi yang pasti, gw jadi berpikir:”punya mobil mahal dan bagus kok ga mampu sekolah, abis kelakuan kayak orang yang ga berpendidikan.” Padahal gw aja, selalu bela-belain ‘mengumpulkan’ sampah di mobil (ga jarang terasa lengket dan agak bau) yang baru akan ‘diboyong’ keluar kalau tempat sampah sudah menanti di dekat mobil. Dan itu gw tularin ke suami, anak-anak, pembantu, sopir, nyokap, bokap, adik-adik, temen, dsb. Tadinya gw pikir, ‘orang-orang bermobil’, apalagi dengan mobil yang bagus dan mahal, sudah punya kesadaran minimal seperti gw lah. Tapi ternyata… Ih…kok bisa ya…?

* * *

Saturday, November 04, 2006

Lebaran

Dua rasa bergelut dalam dada
Menjelang bulan baru datang menyapa
Sukacita karena kemenangan di depan mata
Sedihjiwa karena Ramadhan berlalu segera
Namun lembaran baru itu kan tetap membuka
Harus kujalani dengan segala rasa
Berucap kata ingin turut serta
Tuk lebih meringankan kaki ini melangkah…

“Selamat Lebaran, mohon maaf lahir dan batin”


Lebaran tahun ini agak berbeda buat gw. Gw merasa lebih enjoy menikmatinya dibandingkan tahun lalu. Paling nggak, terasa pada saat perjalanan mudik ke Solo, kampung halaman suami tercinta. Menyenangkan dan mengasyikkan sekali (dan terharu, ternyata gw masih diberi kesempatan untuk merasakan senang dan asyiknya mudik seperti itu) melihat anak-anak bersenda gurau selama perjalanan, atau melihat para pemudik lain dengan barang bawaan setumpuk yang ditaruh di atap mobil (kemudian kitapun berkomentar,”wah lihat, pemudik sejati.”), atau melihat peta untuk mencari setelah ini kota berikutnya yang akan dilewati apa, atau sejenak bersantai di tempat pemberhentian sambil menikmati sarapan maupun makan siang, atau ikut bernyanyi sesuai lagu yang diputar untuk menghilangkan kejenuhan, atau….ah pokoknya semuanya deh yang terjadi pada saat mudik.

Kadang-kadang kita menyempatkan bermalam di salah satu kota yang dilewati. Dan anak-anak gw akan berteriak kegirangan karena itu berarti menginap di hotel, hal yang selalu mereka tunggu-tunggu. Lumayanlah, bisa tidur nyenyak di tempat ‘dingin’, mengingat di tempat mertua tidak dilengkapi fasilitas pendingin. Kalo buat gw lebih pada fasilitas kamar mandinya (gw susah, sorry, pup kalo bukan di kloset duduk. Mmh.. dasar manja ya). Tahun ini kita memang tidak melakukan hal tersebut (“ya…kok kita ga nginep di hotel sih,”protes anak-anak) karena waktu untuk mudik terbatas, hanya 5 hari saja. Padahal di Solo sedang panas-panasnya (ya…ga ada tempat ngadem deh…he…he…he…). Tapi ternyata nginep di hotel itu terbayar juga di Bandung. Berhubung ketika sampai di rumah didapati rumah tanpa air (pompanya korslet) ditambah pula isi lemari es yang membusuk, dan saat itu hari sudah menjelang magrib. Kondisi badan yang capek setelah perjalanan dengan mobil lebih dari 12 jam, ga memungkinkan buat beresin rumah yang sedang ‘bermasalah” seperti itu. Jadilah kita boyongan ke hotel malam itu (“horee…akhirnya nginep di hotel juga…asyik…,”teriak anak-anak).

Ya…begitulah sekilas tentang lebaran dan mudik kali ini. Gw berharap diberi kesempatan lagi buat melakukan hal yang sama dengan perasaan yang lebih menyenangkan dan mengasyikkan lagi di tahun-tahun berikutnya. Amin.